Duka Korban Gempa dan Tsunami Palu
Duka Korban Gempa dan Tsunami Palu. Raut cemas menghinggapi wajah Ana. Matanya masih memerah. Tangannya bergetar tanpa dia sadari.
Sang adik, Sri Wulandari Hasan, menjadi salah satu korban selamat dari bencana gempa dan tsunami. Meski selamat, kondisi Sri kesulitan. Kabar terakhir, Ana menyebut adiknya masih terjebak.
“Adik saya masih di sana (Sulawesi Tengah) bersama seorang temannya dari Balikpapan bernama Lola Bosnita. Tinggalnya di Jalan RE Martadinata,” kata pemilik nama lengkap Hamriana Hasan itu.
Ana menyebut, dirinya dan adiknya tinggal di Jalan Marsma S Iswahyudi, RT 01, Gang Masjid Nurul Jannah, Kelurahan Sungai Nangka, Balikpapan Selatan. Anak pertama dari empat saudara itu menjelaskan, Sri adalah anak ketiga.
Sri setahun lalu mengikuti tes program Nusantara Sehat (NS) setelah lulus D-3 Kesehatan Lingkungan di Politeknik Kesehatan Kemenkes Makassar, Sulawesi Selatan. “Dari ribuan pendaftar dari seluruh Indonesia, hanya 300 orang yang diterima. Dan dia salah satunya,” tutur Ana.
Setelah lulus dan mendapat pelatihan di Jakarta, Sri dikabarkan dikirim ke Donggala, Sulawesi Tengah, Juni lalu. Di sana dia akan menjalani program selama dua tahun.
Namun, setiap akhir pekan, Jumat hingga Minggu, Sri ke Palu. Sehingga pada saat gempa dan tsunami terjadi, Ana menyebut, Sri berada di Palu.
“Pertama mendengar kabar ada gempa dan tsunami di Donggala dan Palu kami (keluarga) langsung berusaha melakukan komunikasi. Namun selalu gagal,” ungkap dia.
Kabar baik tiba pada Jumat (28/9) malam. Sri mengabarkan kondisinya melalui grup WhatsApp yang berisi anggota keluarga. Kondisinya terluka. Ada memar di pahanya lantaran tertimpa bata bangunan rumah tempat tinggalnya di Palu.
Sri mengabarkan rumah tersebut hancur. Dia bahkan harus terjatuh-jatuh hanya untuk membuka pagar halaman. “Dia (Sri) komunikasi lewat WA (WhatsApp). Soalnya meski ada sinyal katanya tidak bisa mengirim SMS atau telepon,” papar Ana.
Sri juga mengabarkan banyak melihat mayat bergelimpangan setelah tsunami. Kondisi ini mengguncang psikisnya. Membuatnya tak berani menuju laut dan memilih menyelamatkan diri ke perbukitan.
Sri bersama tujuh rekan NS-nya berusaha mencari lokasi aman. Lantaran masih merasakan gempa. Bahkan, kabar terkait tsunami akan kembali datang menghantui pikiran mereka.
“Adik saya sangat ketakutan,” kata Ana.
Kabar diperoleh dari status WhatsApp adiknya yang lain, pada Sabtu (30/9) malam. Status itu memberi tahu posisi Sri. Meminta pertolongan kepada pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk bisa mengevakuasi mereka di Desa Porame, Kecamatan Kinovaro, Kabupaten Sigi.
“Dia dan tujuh temannya menginap di rumah warga bernama Farlin,” jelas Ana.
Di sana mereka masih terisolasi. Sebab, listrik masih padam dan susah mendapatkan sinyal serta akses internet membuat Ana kesulitan menghubungi adiknya.
Hingga tadi malam, kontak melalui sambungan udara kerap terputus. Dari Sri juga diperoleh informasi kondisi desa tempatnya bertahan hidup. Mereka kekurangan air dan makanan. Posisi desa jauh dari posko.
“Bantuan hingga malam ini (tadi malam) belum tiba. Adik saya minta kalau ada helikopter yang menjemputnya dan teman-teman NS-nya,” mohon Ana.
Usaha coba dilakukan pihak keluarga. Salah satunya dengan memesan tiket perjalanan ke Palu. Namun tak berhasil diperoleh.
Dia berencana melaporkan kondisi ini ke Pemkot Balikpapan jika dalam waktu dekat tak ada informasi soal evakuasi. Apalagi banyak berita kondisi Palu dan sekitarnya sedang memanas.
“Orangtua kami di Jakarta juga sedang mencoba. Saya sendiri tak bisa karena harus menjaga anak,” ujarnya.
Nasib Sri sama dengan empat atlet panjat tebing asal Balikpapan menjadi korban gempa bumi dan tsunami di Kota Palu, Sulteng, Jumat (28/9). Mereka sempat terjebak di perbukitan lantaran menghindari terjangan tsunami.
Namun, semuanya telah dipastikan selamat dari bencana. Empat atlet itu yakni Jamal Al Hadad, Arga Nur Adli, Nova Bina Wardhanui, dan Annisa Aulia.
Sejatinya mereka akan mengikuti turnamen sport climbing pada Festival Pesona Palu Nomoni 2018. Namun, acara itu batal dilaksanakan karena bencana tersebut.
Sang adik, Sri Wulandari Hasan, menjadi salah satu korban selamat dari bencana gempa dan tsunami. Meski selamat, kondisi Sri kesulitan. Kabar terakhir, Ana menyebut adiknya masih terjebak.
“Adik saya masih di sana (Sulawesi Tengah) bersama seorang temannya dari Balikpapan bernama Lola Bosnita. Tinggalnya di Jalan RE Martadinata,” kata pemilik nama lengkap Hamriana Hasan itu.
Ana menyebut, dirinya dan adiknya tinggal di Jalan Marsma S Iswahyudi, RT 01, Gang Masjid Nurul Jannah, Kelurahan Sungai Nangka, Balikpapan Selatan. Anak pertama dari empat saudara itu menjelaskan, Sri adalah anak ketiga.
Sri setahun lalu mengikuti tes program Nusantara Sehat (NS) setelah lulus D-3 Kesehatan Lingkungan di Politeknik Kesehatan Kemenkes Makassar, Sulawesi Selatan. “Dari ribuan pendaftar dari seluruh Indonesia, hanya 300 orang yang diterima. Dan dia salah satunya,” tutur Ana.
Setelah lulus dan mendapat pelatihan di Jakarta, Sri dikabarkan dikirim ke Donggala, Sulawesi Tengah, Juni lalu. Di sana dia akan menjalani program selama dua tahun.
Namun, setiap akhir pekan, Jumat hingga Minggu, Sri ke Palu. Sehingga pada saat gempa dan tsunami terjadi, Ana menyebut, Sri berada di Palu.
“Pertama mendengar kabar ada gempa dan tsunami di Donggala dan Palu kami (keluarga) langsung berusaha melakukan komunikasi. Namun selalu gagal,” ungkap dia.
Kabar baik tiba pada Jumat (28/9) malam. Sri mengabarkan kondisinya melalui grup WhatsApp yang berisi anggota keluarga. Kondisinya terluka. Ada memar di pahanya lantaran tertimpa bata bangunan rumah tempat tinggalnya di Palu.
Sri mengabarkan rumah tersebut hancur. Dia bahkan harus terjatuh-jatuh hanya untuk membuka pagar halaman. “Dia (Sri) komunikasi lewat WA (WhatsApp). Soalnya meski ada sinyal katanya tidak bisa mengirim SMS atau telepon,” papar Ana.
Sri juga mengabarkan banyak melihat mayat bergelimpangan setelah tsunami. Kondisi ini mengguncang psikisnya. Membuatnya tak berani menuju laut dan memilih menyelamatkan diri ke perbukitan.
Sri bersama tujuh rekan NS-nya berusaha mencari lokasi aman. Lantaran masih merasakan gempa. Bahkan, kabar terkait tsunami akan kembali datang menghantui pikiran mereka.
“Adik saya sangat ketakutan,” kata Ana.
Kabar diperoleh dari status WhatsApp adiknya yang lain, pada Sabtu (30/9) malam. Status itu memberi tahu posisi Sri. Meminta pertolongan kepada pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk bisa mengevakuasi mereka di Desa Porame, Kecamatan Kinovaro, Kabupaten Sigi.
“Dia dan tujuh temannya menginap di rumah warga bernama Farlin,” jelas Ana.
Di sana mereka masih terisolasi. Sebab, listrik masih padam dan susah mendapatkan sinyal serta akses internet membuat Ana kesulitan menghubungi adiknya.
Hingga tadi malam, kontak melalui sambungan udara kerap terputus. Dari Sri juga diperoleh informasi kondisi desa tempatnya bertahan hidup. Mereka kekurangan air dan makanan. Posisi desa jauh dari posko.
“Bantuan hingga malam ini (tadi malam) belum tiba. Adik saya minta kalau ada helikopter yang menjemputnya dan teman-teman NS-nya,” mohon Ana.
Usaha coba dilakukan pihak keluarga. Salah satunya dengan memesan tiket perjalanan ke Palu. Namun tak berhasil diperoleh.
Dia berencana melaporkan kondisi ini ke Pemkot Balikpapan jika dalam waktu dekat tak ada informasi soal evakuasi. Apalagi banyak berita kondisi Palu dan sekitarnya sedang memanas.
“Orangtua kami di Jakarta juga sedang mencoba. Saya sendiri tak bisa karena harus menjaga anak,” ujarnya.
Nasib Sri sama dengan empat atlet panjat tebing asal Balikpapan menjadi korban gempa bumi dan tsunami di Kota Palu, Sulteng, Jumat (28/9). Mereka sempat terjebak di perbukitan lantaran menghindari terjangan tsunami.
Namun, semuanya telah dipastikan selamat dari bencana. Empat atlet itu yakni Jamal Al Hadad, Arga Nur Adli, Nova Bina Wardhanui, dan Annisa Aulia.
Sejatinya mereka akan mengikuti turnamen sport climbing pada Festival Pesona Palu Nomoni 2018. Namun, acara itu batal dilaksanakan karena bencana tersebut.
Comments
Post a Comment